Sebelumnya, mohad mengalami halnya serupa dengan kejadian gue waktu itu. Tak salah lagi, tingkahnya sama persis yang gue alami. Gue bisa ngebayangi betapa perihnya.. tapi aneh, siapa yang melakukan ini? Jelas, bukan gue!
Mohad terus mencengkram dada dibagian jantungnya, dan gue pun ikut menyentuhnya seraya mengendalikan kekuatan agar bisa mengurangi rasa sakitnya yang bergejolak. Ada perlawanan yang dashyat ketika itu, sesaat kemudian, kemampuan gue yang menang.
“Tere… cepat panggil ambulance!!!!” tereak gue terus merangkul Mohad yang masih menahan rasa sakitnya dan beberapa detik kemudian ia pingsan didekapan gue
Gue hanya bisa menatap, ketika tubuh Mohad dimasukkan ke mobil ambulance dan dibawa pergi bersama Tere yang setia menemaninya. Tanpa gue sadar, nyaris semua penghuni berseragam berhamburan di tempat kejadian. Mereka mencurigai gue sebagai pelakunya, bahkan Hernita dan Radhit yang melihat gue dari kejauhan, gak mau mendekat.
***
Gue sama Tere berjalan melewati koridor menuju ruang dimana tempat Mohad beristirahat. Ini hari pertama gue membesuknya, rasanya baru kemarin gue dan Mohad bertengkar karna masalah kecil. Tapi sekarang, percaya atau gak percaya, gue kemari atas permintaannya.
Beribu rasa bersalah ingin gue ungkapkan padanya, terutama karna gue sudah menuduhnya sebagai mediator Voodoo.
“Hend, apa lu gak ngerasa, kalo Nita menyukai lu!” ujar Tere sambil melangkah kecil menuju ke ruang Mohad berinap.
“Enggak!. Dia membenci gue…” sangkal gue berlaga males tuk ngebahas.
“Tapi gua perempuan. Gua bisa membaca matanya.. apa lu… emang sengaja berpura-pura gak tau bahwa Nita selalu menatap gua dengan mata cemburu?”
“Tere, Gue hanya cinta pada lo! Lo puas.!!” Kata gue menegaskan.
Tere menggelengkan kepalanya. Bukan ingin mengalah, tapi ia sabar meladeni pembicaraan. Lalu ia menunjukkan sebuah ruangan yang masih cukup jauh dari jangkauan. Dan dipintu itu, baru saja nampak orang asing keluar dari kamar tersebut. Kontan Tere kaget, siapa gerangan yang berani masuk? dan berteriak tuk menyuruhnya diam ditempat.
Orang tersebut bukannya mau menurut, malah menghindar jauh. Gue sama Tere bergegas mengejarnya, namun gerak sang musuh jauh lebih gesit dan cekat, sampai kami kehilangan jejaknya. Hingga tak mungkin lagi terkejar!
Tere langsung melihat kondisi Mohad diruangan, dan kecurigaanya benar. Mohad semakin sekarat, selang infusnya terlepas, bahkan urat nadinya sengaja disilet, Mohad terlihat kejang-kejang, dan nyawanya… diambang kematian.
“Biar gue yang panggil Dokter, lo jaga Mohad disini!”
Tere manggut, seraya tak kuat menahan tangis dan rasa bersalahnya
***
Perasaan was-was masih menghantui, Jika terlambat dan tak bertindak cepat, mungkin nyawanya bisa saja hilang. Tapi keadaan Mohad sekarang sudah diyakinkan aman
“Seharusnya ia tidak ditinggal sendirian. Kemana keluarganya?” ujar Dokter kesal
“Keluarganya masih dikota, Dok! Kami belum berani menghubungi mereka”
“Hubungi mereka secepatnya, jika terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?”
Si Dokter bersama beberapa perawatnya pun pergi dari ruangan
“Bilang aja pengamanan dirumah sakit ini tak menjamin..” bisik gue kesal, jelas Tere bisa mendengar sindiran halus gue. “Ada benernya juga kata si Dokter, sebaiknya kita serahkan kondisinya yang sekarat ini pada orang tuanya. Minimal gue yang kepenjara…”
Tere hanya terdiam, sibuk melayani kekasihnya dan tak memperdulikan kekesalan gue.
“Bajingan! Siapa yang melakukannya?..” maki gue berang, mengingat gue tak begitu maksimal mengejarnya.
“Percuma disesalkan, yang penting keadaan Mohad terselamatkan..” ujar Tere lembut. Ia masih setia
membelai wajah Mohad, meski gue tau dibatinnya penuh rasa dendam yang sama.
***
Gue gak percaya segitu tegar dan kuatnya seorang Mohad, ia mampu mengatasi kondisi kritisnya dengan sendiri. Betapa gue tak tega memperhatikan keadaanya yang sekarang. Gue sangat menyesal telah beranggapan buruk tentangnya, karena sebenarnya ia bukan golongan kufron seperti yang Radhit dan Nita kira.
Ya! akhir-akhir ini sama sekali tak mendengar kabar dari mereka berdua. Setidaknya, Nita mengetahui kejadian sesungguhnya bahwa gue tak bersalah. Lantas, apa alasan mereka tak ingin bersama gue, atau minimal menghubungi gue sekali saja tak pernah?
Di lain kesempatan, gue berhasil menjumpai kedua sahabat itu di perpustakaan sekolah. Mereka selalu terlihat akrab, Tak heran! Mereka malah terkadang nampak romantis.
“Kalian tau kabar Mohad?”
Nita tak menanggapi ocehan gue, tapi Radhit tak begitu.
“Hendric, kami tak mau mencampuri urusannya Mohad. Maaf!”
“Radhit, gue butuh kalian, cuma kalian yang bisa? gue harap kalian tak terpengaruh dengan rumours tentang gue, Mereka sangat pandai menyebar fitnah?” sangkal gue “Dan Mohad tidak seperti yang kita pikirkan selama ini, ia juga manusia biasa yang hanya diperalat”
“Apa yang dikatakan Hendric benar!...” sambung Tere yang datang tiba-tiba “Tolong bantulah sahabat kalian, gua jaminannya bila kalian masih terus memaksa tuk membencinya. Bersamanya tak membuat gua berada diposisi yang salah.. Nita, gua mengharapkan bantuan lu. Lu pasti mengetahui siapa dalang dibalik ini?”
Tuk pertama kalinya gue melihat tatapan ramah yang nampak dimata Nita pada Tere, akankah mereka berbaikan? Tidak! Mereka tak pernah bermusuhan, gue malah merasa kalo selama ini mereka hanya salah paham.
“Maaf, Tere… gue tetep gak bisa ngebantu lo!” dengan sangat menyesal, Nita berkata.
Dan iapun berlalu. Lagi-lagi Radhit membuntut mengejar Nita. Sungguh Tere kecewa mendengar jawaban itu, air matanya menetes kepipi.
Tiba saja gue teringat ketika gue nangis, Tere memeluk dengan erat. Rasanya tak adil jika gue membiarkannya sedih begitu saja. Kini giliran gue menunjukkan kepeduliannya.
“Kita pasti bisa… semangatlah…” ujar gue menghiburnya.
***
Nada dering itu terdengar keras, makin lama makin menyebalkan jika dibiarkan. Maka gue terbangun, dan baru sadar kalo barusan gue tertidur sejenak.
“Halo?!” kata gue setengah sadar
“Maaf mengganggu anda malam-malam begini. Tapi kami ingin mengabarkan hal yang penting yang patut anda ketahui…” jelas si suara asing ini.
Gue sih gak peduli, paling orang iseng yang gak punya kerjaan
“Anda mengenal wanita bernama Terresy anastasya?”
“Ya!..” jawab gue singkat
“Sekitar setengah jam yang lalu ia mengalami kecelakaan dijalan raya, dan sekarang kondisinya kritis. Kami dari pihak rumah sakit, mohon kedatangannya segera..”
“Baik, gue akan segera kesana.. dan tolong selamatkan dia, gue mohon” pinta gue panik
Kontan gue shock! Gila, sekarang jam satu pagi? Emang Tere abis dari mana? Ngapain jam segini keluar rumah, mana diluar masih gerimis. Padahal waktu gue belum tidur tadi hujan deres gak henti-hentinya.
Saat itu juga, gue langsung prepare seala kadarnya. Lagian mo kerumah sakit gak perlu nyetil, namanya juga lagi darurat..
Sejam kemudian, gue sampai di rumah sakit yang sama ditempat Mohad dirawat, di kamar yang berbeda. Tidak ada yang menjenguk selain gue, atau mungkin yang dihubungi masih dijalan menuju kesini?
Dan salah seorang suster yang menjaganya pun menyambut hangat kedatangan gue
“Gimana ceritanya, Sus? Siapa yang membawanya kesini?” Tanya gue gak sabar
Si suster menenangkan sikap panik gue “Yang membawanya kemari, sudah pulang .. kami pun tak mendapat informasi yang banyak tentang kronologisnya..” jawab si suster kalem.
gue liat kondisi Tere tak memiliki luka hebat. Hanya area tangan, kaki dan sekitar tubuh yang tak dilindungi kain tampak lecet atau beret seperti luka gesek, kepalanya tak mengapa, itu karena ia menggunakan helm. Gue rasa ia pengemudi motor yang disiplin.
“Dikepalanya mengalami benturan keras, sehingga ada pendarahan dari dalam. Dia harus segera di operasi, jika tidak, makin lama akan nampak benjolan yang semakin membesar..”
“Lakuin yang terbaik buat sahabat gue, Suster!”
“Kita belum langsung ambil tindakan, mungkin besok pagi.. setelah Dokternya tiba. Untuk sekarang, kami perlu penanggung jawab agar ia langsung dironsens secepatnya…”
“Baiklah…!”
***
Sejak dini hari hingga pukul tujuh pagi, satu persatu keluarga besar Tere berdatangan. Tak henti-hentinya mereka mengucap terima kasih karna gue sudah menjaganya. Parahnya, mereka pikir gue pacarnya yang bernama Mohad. Tapi tenang, gue udah klarifikasi.
Dan terakhir, yang bikin gue kaget adalah kedatangan Mohad. Padahal ia belum sembuh total, dan sepertinya ia memaksakan diri tuk membesuk kekasihnya.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” Tanya Mohad terheran, entah siapa yang memberi taunya?
“Maaf, Mohad. Tak ada yang tau kronologinya, bahkan tak ada saksi yang melihat kejadiannya. Masalahnya semalem hujan deras, dan tak banyak kendaraan yang berlalu lalang ketika itu”
Mohad menyesali atas apa yang terjadi.
“Lo nggak papa, kan?” Tanya gue khawatir
“Hend, makasih telah menjaganya. Tapi bukankah lo musti sekolah?”
“Gue minta izin aja sama Pak Najmi..”
“Jangan Hend, sebaiknya lo manfaatin waktu lo buat istirahat aja, biar gue dan keluarganya yang menjaga secara bergantian…”
“Gue tau lo sendiri belom terlalu sehat.. sebaiknya lo yang perlu banyak istirahat”
“Udahlah.. kali ini gue mohon, gue udah banyak merepotkan lo”
“Baiklah,.. lo juga jaga kesehatan”
Gue pun pamit pada semua yang hadir, gue percaya Tere berada diposisi yang aman sekarang. Orang-orang yang mencintainya telah berkumpul memberinya spirit untuk terus berjuang mempertahankan kehidupannya.
Tak ada alasan baginya bila ingin pergi meninggalkan kami yang menyayanginya, lagian tenaganya masih kuat meski tak bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya, ia sempat merangkul tangan gue dengan maksud menahan agar tak pergi jauh darinya. ia terus-terusan nampak gelisah, mungkin menahan rasa menyut dikepalanya yang memang benjolannya semakin membesar. Semoga ia bisa bertahan hingga waktu operasi yang ditentukan. Hingga saat gue balik kesini, keadaannya semakin membaik.
***
Menjelang siang, perasaan gue gak enak. Apa ini efek tidak tidur semalaman atau karna emang bawaan gak nafsu makan barusan? Pokoknya ini terasa gak biasa. Mengapa demikian?
Firasat itu terjawab ketika gue dapet pesan singkat dari Mohad. Kabar yang tidak enak, gue mesti kehilangan seorang Tere untuk selamanya. Ia pergi beberapa saat setelah operasi selesai.
Sumpah, gue gak percaya mendengar kabar itu, rasanya ini seperti bohong besar. Baru beberapa jam lalu, Tere merangkul jemari gue dengan sepenuh kekuatannya. Dari situ, gue pikir ia tidak mungkin rela pergi meninggalkan gue. Ia wanita yang kuat, ia wanita yang berani, ia wanita yang tegar.. yang pernah gue temui selama ini. rasanya tak mungkin… ini seperti mimpi buruk bagi gue… gue mencintai lo Tere, gue mohon jangan pergi jauh..
***
Kepergian Tere menjadi duka yang mendalam bagi SMA kami. Semua berbela sungkawa selama beberapa hari belakangan ini. Mohad masih dirumah sakit, Nita dan Radhit masih belum berubah sikap, Mereka berdua masih tak ingin bicara dengan gue. Bahkan, tatapan siswa-siswi semakin sinis saja, mereka masih saja mengira gue sebagai penyebabnya. Apalagi Tere adalah orang yang teramat dekat dengan gue akhir-akhir ini.
Ini yang menyebabkan gue jadi pendiam, tak seorang pun berani menegur gue. Bahkan ketika gue berjalan melewati rombongan yang sedang berkumpul, tiba saja kontan mereka bubar. Tak heran mengapa mereka tega berbuat demikian. Karna image gue udah terlanjur buruk.. gue gak mungkin bisa mengklarifikasi atau membela diri sendiri, pasti akan sia-sia. Siapa lagi yang dapat dipercaya?
“Mohad? Lo udah sehat?...” gue keheranan memandang fisik Mohad
“Lo gak usah khawatir.. sebenarnya, ada yang ingin gue katakan. Ini lebih penting dari kesehatan gue..”
“Apa sebaiknya dilakukan nanti saja, ketika lo bener-bener pulih.”
“Gak Hend, jangan sia-siakan maksud kedatangan gue kesekolah ini..”
Mohad melangkah menuju ruang Osis ditemani gue, ia meminta gue tuk memasang speaker dan menyambungkannya ke mic, menyalakan soundsistem selayaknya mempersiapkan pidato upacara setiap hari senin. Entah rencana apa yang hendak dilakukannya kali itu?
Dengan kondisi yang masih belum stabil, ia bersiap diri berdiri diatas mimbar dan gue berada tak jauh darinya, berjaga-jaga jika Mohad membutuhkan hal lainnya
“Attentions..” katanya berlagak tegas
Semua perhatian tertuju padanya, bahkan pihak guru sekalipun menatap iba pada kesanggupan Mohan melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.
“Terimakasih..” ujarnya seraya menundukkan kepala, mungkin ia sedang berfikir
Gue masih tampak bengong
“Yang ingin gue katakan sekarang, adalah kejadian yang pernah menimpa pada diri gue dan Tere akhir-akhir ini. Jelas semuanya berkaitan, pada saat gue diserang melalui media voodoo sampai kecelakaan yang terjadi pada Tere, kekasih gue.
Ada seseorang yang ingin benar-benar mencelakakan kami, mungkin karna dendam atau karena alasan lainnya. Dan efek serangan bertubi-tubi ini menjadikan sahabat gue, Hendric yang jadi kambing hitamnya.
Justru Hendric telah menyelamatkan nyawa gue tuk kedua kalinya dan ia juga yang menjaga almarhumah Tere menjelang kepergiannya.
Mulai sekarang, gue minta jangan ada yang memperlakukan Hendric dengan tidak adil. Ini tak ada sangkut paut dengannya…Sekali lagi gue tegaskan… Hendric tidak bersalah!!!”
“Apa yang lo lakuin?”
“Hendric, sadarlah! Kita berdua sedang diperhatikan musuh..” ujarnya mencurigakan
Itu artinya, disekolah ini memang tak semuanya bisa dipercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar